11 Salah satu faktor yang mendorong kemajuan pertanian di Amerika Serikat adalah adanya pengelolaan lahan secara intensif dengan cara pola pertanian per kawasan. Salah satu diantaranya adalah daerah yang disebut dengan istilah "cotton belt" yaitu suatu kawasan untuk . a. kawasan gandum musim dingin b. kawasan gandum musim semi
bkL85p. Jakarta Romusha adalah istilah yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kamu. Pasalnya, istilah ini dibahas dalam mata pelajaran sejarah di sekolah, yaitu berkaitan dengan materi sejarah kemerdekaan Indonesia. 77 Tahun Tragedi Kapal Neraka Junyo Maru di Laut Bengkulu Melestarikan Dulmuluk, Teater Jenaka dan Budaya Asli Palembang Tugu Tan Malaka, Penghormatan kepada Romusha yang Terabaikan Istilah romusha dikenal pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia. Penjajahan ini berlangsung selama 3,5 tahun, mulai dari tahun 1942 sampai dengan tanggal 17 Agustus 1945, yaitu hari kemerdekaan Indonesia. Romusha adalah pekerja paksa, sebuah kebijakan yang diterapkan Jepang saat menjajah Indonesia. Istilah ini ditujukan pada orang-orang yang dipaksa bekerja berat pada zaman pendudukan Jepang. Berikut rangkum dari berbagai sumber, Rabu 22/12/2021 tentang situasi Indonesia menjelang Proklamasi Kemerdekaan? Apa pelajaran yang bisa kita petik dari para Bapak Bangsa? Simak paparan menarik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dan Sejarawan JJ Rizal dalam "Acara Break Out Show Prokla...Meski sempat disambut rakyat Indonesia, ternyata Jepang berkuasa dengan adalah pekerja paksa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, Romusa atau Romusha adalah orang-orang yang dipaksa bekerja berat pada zaman pendudukan Jepang. Dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Jepang, secara harfiah Romusha adalah Pekerja atau Buruh. Romusha adalah kerja paksa yang dimobilisasikan bagi pekerja kasar di bawah kekuasaan Jepang. Kebijakan Romusha ini diberlakukan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah petani, bahkan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani untuk menjadi romusha. Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara. Data menyebutkan bahwa total romusha yang dimiliki Jepang berkisar 4 hingga 10 juta orang kala itu. Romusha adalah kebijakan kerja paksa bagi orang-orang Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Jadi, romusha adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga Penjajahan Jepang di IndonesiaIlustrasi Bendera Merah Putih Credit dari pada 8-9 Maret 1942 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh, Panglima Perang Jenderal Ter Poorten, dan Panglima Perang Jepang Jenderal Imamura bertemu di Kalijati Subang untuk menandatangani kapitulasi Belanda kepada Jepang. Penandatangan Kapitulasi tersebut menandai perubahan pemerintahan jajahan dari Belanda ke Jepang. Pemerintah Jepang memanfaatkan data-data intelijen untuk merancang propaganda yang dapat menarik simpati rakyat Indonesia. Kultur lokal yang mengaitkan seluruh peristiwa sebagai akibat hal-hal yang berbau metafisis dipahami benar oleh Jepang, misalnya mengenai ramalan Joyoboyo tentang datangnya bangsa berkulit kuning yang akan mengusir bangsa kulit putih. Propaganda Jepang menarik perhatian masyarakat Indonesia, sehingga kedatangannya disambut gembira oleh rakyat. Propaganda yang disampaikan yaitu menyatakan bahwa Jepang sebagai saudara tua bangsa Indonesia yang memiliki keinginan untuk membuat kawasan persemakmuran di wilayah Asia Pasifik, untuk itu dilahirkan Gerakan 3A, yaitu - Jepang Cahaya Asia - Jepang Pelindung Asia - Jepang Pemimpin Asia Jepang juga menarik pemuda Indonesia dengan melibatkan menjadi pasukan pembela tanah air PETA. Bahkan, pemerintahan Jepang membentuk PETA yang terdiri dari orang-orang Indonesia. PETA dibentuk untuk menghadapi Sekutu di medan tempur selama Perang Dunia II RomushaLuasnya daerah pendudukan Jepang, menyebabkan Jepang membutuhkan tenaga kerja untuk membangun sarana pertahanan, seperti lapangan udara, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Pekerjanya diambil dari desa-desa di Pulau Jawa yang padat melalui sistem kerja paksa yang dikenal dengan istilah Romusha. Romusha mulai dilaksanakan sejak 1942-1945, untuk bekerja di wilayah Indonesia serta Asia Tenggara seperti Birma, Muangthai, Vietnam, Malaysia, dan Serawak. Romusha awalnya dilakukan secara sukarela dengan tempat kerja tidak jauh dari tempat tinggalnya. Namun, karena terdesak dalam perang Pasifik, pengerahan tenaga kerja mulai disertai dengan paksaan. Setiap kepala keluarga diwajibkan menyerahkan seorang anak lelakinya untuk berangkat menjadi romusha. Romusha diperlakukan kasar dengan pekerjaan sangat berat, sementara kebutuhan makanan tidak cukup. Hal ini menjadikan banyak di antara romusha meninggal di tempat kerja karena sakit, kekurangan makan, kecapaian atau JepangFoto The British Library Ilustrasi Perang Dunia IAkhir 1944 Jepang mulai terdesak dalam Perang Asia Timur Raya, bayang-bayang kekalahan Jepang mulai nampak karena seluruh garis pertahanan Jepang di Pasifik sudah hancur oleh serangan sekutu. Pada 1 Maret 1945 dalam situasi kritis, Letnan Jendral Kumakici Harada, pimpinan pemerintah pendudukan Jepang di Jawa, mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI dengan anggota sebanyak 60 orang. Pembentukan BPUPKI bertujuan menyelidiki hal-hal penting menyangkut pembentukan negara Indonesia merdeka. Pengangkatan pengurus BPUPKI diumumkan pada 29 April 1945, dengan ketua Dokter Radjiman Wediodiningrat. Pada 7 Agustus 1945 pemerintah pendudukan Jepang membubarkan BPUPKI, diganti dengan Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia PPKI. Anggota PPKI berjumlah 21 orang, terdiri dari 12 wakil dari Jawa, 3 wakil dari Sumatera, 2 wakil dari Sulawesi, 1 wakil dari Kalimantan, 1 wakil dari Sunda Kecil, 1 wakil dari Maluku dan 1 wakil dari golongan penduduk Cina. Soekarno ditunjuk sebagai ketua, Mohammad Hatta sebagai wakil ketua, dan Mr. Ahmad Subardjo sebagai penasehat. Pada 6 dan 9 Agustus 1945 pukul waktu Jepang, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki dari ketinggian hampir 10 ribu meter. Bom atom Little Boy dengan panjang 3 meter, lebar 71 cm dan berat 4000 kg dibawa oleh pesawat B-29 Enola Gay. Ratusan ribu orang meninggal seketika, sisanya terluka seumur hidup, dan hanya sedikit yang sanggup untuk bertahan. Pengeboman tersebut melumpuhkan kondisi politik dan ekonomi Jepang, karena itu pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Hirohito menyampaikan pidato di Radio NHK yang dikenal sebagai Siaran Suara Kaisar. Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah.* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Romusha Adalah – Periode Invasi Jepang 1942–1945 di Indonesia seolah mempunyai dua sisi mata uang, yaitu sejarah masa kelam bangsa dan menguatnya rasa nasionalisme. Masa kelam tersebut terjadi karena eksploitasi di hampir seluruh lapisan masyarakat untuk kepentingan perang Asia Timur Raya dan untuk ekspansi militer Jepang. Eksploitasi semakin menjadi karena kerja sama yang kuat antara pemerintah militer Jepang dan kelompok nasionalis yang menyambut dan mengelukan-elukan kekuatan Jepang sebagai bangsa pembebas akibat frustasi dijajah pemerintah kolonial Belanda. Pada 8 Maret 1942, militer Jepang berhasil menaklukkan Hindia Belanda secara de jure hanya dalam tempo delapan hari. Kesuksesan Jepang menduduki wilayah Hindia Belanda akhirnya membuat pasukan Belanda dan Sekutu hengkang meninggalkan Hindia Belanda atau rela menjadi tawanan perang. Rangkaian invasi panjang yang dilakukan oleh Jepang sejak tahun 1939 mencakup wilayah Tiongkok Peking dan Nanking dan wilayah selatan Korea, Indocina, Burma, Filipina, Hongkong, Malaya, Singapura, dan Hindia Belanda. Kepongahan supremasi militer bangsa Eropa tumbang begitu saja karena agresivitas militer Jepang membabat habis wilayah selatan untuk dikuasai. Panjangnya waktu kampanye militer secara besar-besaran tersebut sangat menguras sumber daya dan energi militer Jepang, sehingga membutuhkan wilayah taklukan sebagai basis sumber daya alam dan manusia. Ide Kerja Paksa Gerakan RomushaPraktik Gerakan Romusha di IndonesiaBuku Terkait Sejarah IndonesiaMateri Terkait Sejarah Indonesia Ide Kerja Paksa Gerakan Romusha Monumen Peringatan Gerakan Romusha di Banten Hesselman, Nationaal Archief, the Dutch National Archives/Creative Commons CC0 Universal Public Domain Dedication. Hengkangnya pemerintahan Kerajaan Belanda membuat wilayah Hindia Belanda kosong pemerintahan. Administrasi pemerintahan selanjutnya dibagi ke dalam tiga daerah untuk mengefektifkan wilayah pendudukan yang diekspansi oleh Jepang, yaitu Pemerintahan Militer Angkatan Darat Tentara Rikigun Kedua Puluh Lima untuk Sumatra, berkedudukan di Bukittinggi. Pemerintahan Militer Angkatan Darat Tentara Rikigun Keenam Belas untuk Jawa dan Madura, berkedudukan di Jakarta. Pemerintah Militer Angkatan Laut Kaigun Armada Selatan Kedua untuk daerah yang meliputi Sulawesi, Kalimantan, Maluku, berkedudukan di Makassar. Melalui pembagian wilayah kekuasaan tersebut diharapkan stabilitas dan kekacauan karena beralihnya pemerintahan dapat dicegah sedini mungkin. Oleh karena itu, diumumkan Undang-Undang No. 3 pada 20 Maret 1942 yang melarang segala macam bentuk pertemuan, pergerakan, atau anjuran propaganda yang menyangkut hal-hal mengenai perturan dan susunan negara Prasedyawati, 1982. Undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa peraturan tersebut dibuat untuk sementara waktu, untuk mencegah timbulnya kekuatan politik di Indonesia, serta agar rakyat memikirkan sedalam-dalamnya cara bekerja sama dengan pemerintahan pendudukan militer Jepang. Pemulihan menjaga stabilitas peralihan kekuasaan dari Belanda ke militer Jepang ditandai dengan peraturan untuk yang bersifat―”menjepangkan” Indonesia dan perubahan struktur pemerintahan. Pemeritahan Belanda dihapuskan yang kemudian digantikan dengan dibentuknya pemerintahan militer yang bersifat sementara, yaitu dibentuknya Kantor Pemerintahan Militer Jawa Jawa Gunseibu yang berada langsung di bawah Kepala Staf Tentara Keenam Belas, sekaligus diangkat sebagai kepala pemerintahan. Pemerintahan militer ini memiliki delapan departemen sebagai penunjang jalannya pemerintahan. Departemen tersebut antara lain Departemen Urusan Umum Somubu, Departemen Dalam Negeri Naimbu, Departemen Perekonomian Sangyobu, Departemen Keuangan Zaimubu, Departemen Kehakiman Shihobu, Departemen Kepolisian Keimubu, Departemen Lalu-Lintas Kotsubu, dan Departemen Propaganda Sendenbu Herkusumo, 1982. Pendudukan wilayah di Jawa juga dilakukan untuk pemerintahan setempat di Jawa dan Madura – kecuali DIY dan Surakarta — yang dibagi menjadi 17 keresidenan shu, yaitu Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas, Pati, Kedu, Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan Madura. Setiap tingkatan di pemerintahan daerah sendiri menggunakan nama Jepang, yaitu ken kabupaten, gun kewedanan, son kecamatan, dan ku desa, sedangkan di Sumatra dibagi menjadi shu, bunshu, gun, dan son. Pemerintahan militer di Sumatra membagi sembilan shu, yaitu Sumatra Timur, Sumatra Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Palembang, Lampung, dan Bangka Belitung. Adapun untuk pemerintahan militer angkatan laut dibentuk Minseifu kantor pemerintahan sipil, yaitu Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil, yang dibagi lagi menjadi shu, ken, bunken, gun, dan son. Semua jabatan dipegang oleh orang Jepang. Pada masa ini, golongan nasionalis yang kooperatif dengan pemerintah militer Jepang membentuk usaha-usaha bersama dalam bentuk organisasi massa. Pihak militer Jepang pun tidak mau ketinggalan memanfaatkan gerakan itu untuk memobilisasi massa guna kepentingan militer di kawasan Asia-Pasifik, yaitu menaklukkan tentara Sekutu. Inilah yang kemudian terbentuk Gerakan Tiga A dan Poetra kemudian berganti menjadi Hokokai sebagai wadah pemusatan konsentrasi massa Ricklefes, 2005. Melalui tokoh penggerak yang dikenal dengan empat serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mas Mansur, dan Ki Hadjar Dewantara, kelompok nasionalis dan golongan Islam yang dinilai kooperatif oleh militer Jepang mendapat tempat di panggung gerakan keagamaan, sehingga organisasi seperti Majelis Islam a’la Indonesia MIAI, Muhammadiyah, dan Nahdatul Ulama NU diizinkan berdiri kembali. Sementara itu, upaya stabilitas berlangsung di kawasan Hindia Belanda di luar sana, tentara Jepang semakin merangsek di wilayah pulau-pulau kecil di Laut Pasifik. Hal itu digunakan untuk merebut wilayah pendudukan untuk membentengi gerak serangan pasukan Amerika, Australia, dan pasukan Sekutu lainnya. Kekalahan telak armada Jepang terjadi di Coral Sea dan Midway menyebabkan banyak armada militer, termasuk pasukan telah menjadi korban. Kegagalan tersebut membawa implikasi yang besar sehingga, praktis kekalahan militer Jepang sudah semakin di depan mata. Kondisi tersebut sontak membuat parlemen di Jepang dan pemerintah militer Jepang memutuskan keputusan untuk semakin meningkatkan eksploitasi sumber daya yang dimiliki Hindia Belanda, termasuk manusia sebagai alat perang. Faktor itulah yang menyebabkan partisipasi politik yang melibatkan kelompok nasionalis kooperatif ke dalam sebuah Dewan Pertimbangan Pusat Chuo Sangi-in menjadi mutlak. Tokoh empat serangkai digandeng untuk memuluskan rencana ini, sehingga dibentuklah keanggotaan sebanyak 23 orang yang diangkat oleh Saiko Shikikan Panglima Tertinggi Tentara Keenam Belas melalui rekomendasi perwakilan di daerah-daerah. Chou Sangi-in secara resmi bersidang pertama kali pada 16–20 Oktober 1943. Tujuan sidang ini dimaksudkan untuk semakin mempertegas bahwa rakyat Indonesia dapat bahu-membahu mewujudkan kemenangan Kemaharajaan Kaisar Jepang Tenno di Asia Timur Raya. Akhir sidang tanggal 20 Oktober 1943 menghasilkan keputusan dengan arahan Saiko Shikikan melalui mediasi dengan Departemen Urusan Umum bahwa disepakati langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintahan di Indonesia Memperkuat dan melindungi para prajurit PETA dan Heiho. Menggerakan tenaga kerja untuk keperluan masyarakat dan perang. Meneguhkan susunan penghidupan masyarakat dalam masa perang. Memperbanyak hasil bumi. Pada butir kedua operasionalisasinya, dibentuk pengorganisasian massa dengan membentuk gerakan Romusha dalam bahasa propaganda berarti “prajurit pekerja”. Untuk mengorganisasi ini, dibutuhkan perangkat lokal mulai shu keresiden, ken kabupaten, gun kewedanaan, son kecamatan, dan ku desa, menyusul dibentuknya Kumai koperasi dan Tonarigumi Rukun Tetangga Kurasawa dan Shiraishi, 1988. Hal itu dilakukan untuk memobilisasi massa secara massal, sukarela, dan cepat. Ini dikarenakan masyarakat semi-feodal pada waktu itu sangat takut dan tunduk oleh institusi pemerintah seperti hubungan raja dan bawahan atau patron dan klien. Proses rekrutmen dilakukan dengan sistematik karena melibatkan pemerintah setempat. Hal itu dilakukan dengan iming-iming sandang, papan, pangan yang layak, serta merupakan bagian tugas dari masyarakat desa tempat mereka tinggal. Proses rekrutmen tersebut memanfaatkan strutur sosial dan pemerintahan yang terbentuk, terutama sejak Culturstelsel yang mengelompokan wilayah tradisional menjadi kesatuan administratif desa, yang di dalamnya terdiri atas lapisan stratifikasi orang berdasarkan kedudukan dan status sosialnya. Itulah sekelumit mengenai rencana awal eksploitasi manusia sebagai pekerja paksa, mulai dari aturan sampai kepada operasionalisasi di lapangan yang langsung melibatkan tokoh nasional yang berpengaruh, perangkat pemerintahan, serta tokoh yang ada di pelosok wilayah desa seperti kiai dan pemuka adat. Gerakan Romusha merupakan tenaga buruh kerja paksa yang direkrut berumur sekitar 16–40 tahun, baik perempuan dan laki-laki. Praktik gerakan Romusha ini dimobilisasi menggunakan struktur pemerintahan yang paling relatif dekat di level kecamatan son, desa ku, dan rukun tetangga tonarigumi. Mereka bekerja untuk militer Jepang melalui aparat pemerintahan lokal dengan instruksi bersifat sukarela dan memaksa. Setiap tiga wilayah yang dibagi menjadi tiga pemerintahan militer memiliki dan mengorganisasi pekerja sebagai Romusha. Namun, yang banyak dimobilisasi massal adalah orang yang berasal dari Pulau Jawa. Pemobilisasian dilakukan untuk wilayah yang menurut kepala pemerintahan Jepang perlu dieksplorasi seperti di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Jawa bagian selatan. Romusha ini juga dapat diekspor ke luar negeri seperti Singapura, Filipina, Malaysia, dan Birma. Tentu saja pengaturan suplai tenaga kerja dilihat melalui tingkat kebutuhan dan hasil yang ingin dicapai oleh pemerintah militer Jepang di ketiga wilayah administratif. Untuk angka pengerahan ini banyak peneliti mengajukan sumber yang berbeda-beda. Para peneliti yang membahas tentang gerakan Romusha seperti Kurasawa, Sato, dan Raben menyebutkan data Romusha yang dikirimkan ke wilayah Asia bagian selatan dan Pasifik sebanyak orang Jawa. Namun, Kurasawa yang menggunakan dokumen dari Jepang mengungkap jika jumlah pekerja gerakan Romusha yang dimobilisasi oleh pemerintah militer Jepang mencapai lebih dari 4 juta jiwa. Kurasawa, 1993. Sementara itu, menurut kepala militer Jepang di Pulau Jawa, Yamamoto, jumlah tenaga kerja yang dikirim jumlahnya hanya sekitar sampai orang Herkusumo, 1982. Jumlah pengerahan tenaga kerja ini masih simpang siur karena sulitnya menemukan dokumen detail untuk pengerahan tenaga kerja massal di wilayah Hindia Belanda, apalagi antara jumlah Romusha yang dikirim ke luar Pulau Jawa, di dalam Pulau Jawa, Romusha tetap, dan Romusha sementara, serta klasifikasi persis usia yang dipaksa bekerja; semuanya masih belum jelas. Terlepas dari persoalan tersebut, penelitian yang ada hampir seluruhnya menujukkan pola yang sama. Pekerjaan yang mereka lakukan itu banyak terkonsentrasi membangun infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan perang, seperti mengumpulkan bahan pangan padi, palawija, dan tanaman obat-obatan, membuat infrastruktur jembatan, jalan raya, rel kereta api, dan landasan pesawat terbang, dan menggali bahan tambang. Pekerjaan itu dilakukan dengan memanfaatkan penduduk yang tersebar di seluruh Indonesia, khususnya penduduk di Pulau Jawa bagian tengah. Hal itu dilakukan dengan cara propaganda pihak militer Jepang dan para kolabolator pemerintah Republik Indonesia, sehingga perintah tersebut menjadi efektif untuk memobilisasi masyarakat, terutama yang ada di Pulau Jawa. Beberapa penelitian yang terkait langsung dengan Romusha di Indonesia seperti Kurasawa 1993 berbicara mengenai studi tentang perubahan sosial di perdesaan Jawa, yang menyoroti mobilisasi masyarakat desa melalui aparat lokal dan kondisi Romusha secara umum. Lalu, tulisan Poeze 2006, mengungkap jika pekerja paksa yang berasal dari Jawa dipergunakan membangun jalan kereta api dari Bayah menuju Saketi untuk keperluan pengangkutan dan penggalian tambang batu bara di Bayah, Banten, Jawa Barat. Lain halnya dengan Raben 2003, dia membahas jika pengerahan Romusha di wilayah timur seperti Celebes Sulawesi, Moluccas Maluku, New Guinea Irian Jaya, dan Borneo Kalimantan dilakukan dengan memanfaatkan masyarakat lokal dan orang dari Pulau Jawa. Penelitian lain yang dibahas Sato 2003 membahas mengenai mobilisasi penduduk Jawa sebagai Romusha, tetapi untuk kepentingan pertanian menanam padi sebagai pasokan pangan tentara Jepang untuk berperang dengan Sekutu. Selanjutnya buku berjudul Romusha, Kisah Seorang Tawanan Jepang yang ditulis oleh Thompson, yang merupakan autobiografinya sebagai seorang tawanan perang tentara Jepang sebelumnya dia merupakan tentara angkatan udara Selandia Baru. Thompson di dalam bukunya itu menceritakan sebagai salah satu tentara Sekutu yang ditangkap oleh tentara Jepang dan dipindah antarkamp— Sumatra, Jawa, Ambon, dan Haruku Maluku Tengah— untuk melakukan kerja paksa, yaitu membangun rel kereta api dan landasan pesawat terbang. Kisah paling dramatis diceritakan melalui pengalaman yang penuh kengsengsaraan ketika membangun landasan pesawat terbang dan membuat rel kereta api—bersama dengan tawanan perang lain dan Romusha dari Jawa. Beberapa hasil riset dan kisah nyata tersebut menegaskan terjadinya pengerahan massa besar-besaran di hampir seluruh wilayah Indonesia oleh pemerintah militer Jepang. Proses mobilisasi massa tersebut merupakan solusi kurangnya sumber daya tentara Jepang karena mereka telah mengalami banyak kekalahan di front battle menghadapi pasukan Amerika Serikat dan Sekutu. Beberapa hasil riset tersebut lebih banyak memotret fungsi Romusha yang beragam di lapangan dan aspek dari pola pengorganisasisan para Romusha di berbagai wilayah di Indonesia. Terlihat antara hasil penelitian yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Umumnya, militer sangat menekankan perangkat desa untuk mengerahkan dan mengeksploitasi tenaga kerja dilakukkan juga dengan cara paksaan dan tipuan. Masyarakat yang mengalami paksaan jika yang ditunjuk tidak berhasil ditipu dengan iming-iming mendapat upah dan makanan yang layak. Penelitian yang dilakukan oleh Saputra 2018 dengan judul Menapaki Kembali Sejarah dan Gerakan Isu Romusha di Indonesia ketika menapaki wilayah Boyolali menemukan fakta jika ada satu desa yang seluruh penduduknya dijadikan Romusha. Dia melihat adanya desain konsentrasi pertahanan militer Jepang di wilayah tersebut. Hal ini mirip dengan Romusha di daerah Kaliurang Yogyakarta dan Mranggi Jawa Tengah. Masyarakat diperintahkan untuk membuat gua dan parit pertahanan, kemudian mereka diperintahkan untuk menanam tanaman obat organik guna kepentingan militer di garis depan. Wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta di lereng Merapi kemungkinan dijadikan benteng pertahanan militer Jepang dari gempuran Sekutu. Hal itu akan terlihat di posisi Selo yang membelakangi posisi Kaliurang. Sebelum zaman pendudukan Jepang, daerah itu merupakan wilayah perkebunan kopi, kina, dan kebu komoditi ekspor milik Belanda. Lahan tersebut juga berada di sekitar area permukiman penduduk setempat. Komoditi yang lain hanya berupa tanaman sayur untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat saja subsisten. Kontur tanah dan wilayah geografis berbukit-bukit. Daerah ini kurang ideal kalau dijadikan sebagai tempat lumbung pangan beras karena padi tidak dihasilkan dalam skala berlimpah, yaitu lebih disebebkan kepada padi huma ladang dan aneka jenis sayur-sayuran seperti kol, sawi, singkong, dan pohon pisang. Temuan riset Saputra mengindikasikan jika pemerintah militer Jepang melakukan kebijakan kerja paksa Romusha ketika menguasai wilayah tersebut. Perintah langsung dari militer Jepang ditujukan kepada bupati, camat, kemudian langsung kepada kepala desa dan perangkat desa. Melalui kepala desa tersebut dikumpulkan ketua dusun dan perangkat desa dan jagabaya RT setempat, serta beberapa tokoh masyarakat. Pengorganisiran kemudian dilakukan dengan memanfaatkan hierarki institusi tersebut dari level atas sampai level bawah. Cara-cara tersebut tergolong efektif karena mampu memobilisasi masa dengan cara relatif mudah dan masif. Kepala desa serta perangkat desa merupakan penggerak mobilisisasi efekif dan cepat. Melalui cara tersebut masyarakat relatif mudah dikumpulkan. Mereka didatangi ke rumahnya masing-masing oleh para perangkat desa untuk dimintai datang ke kantor kepala desa. Melalui alasan kepentingan desa tersebut, masyarakat desa direkrut untuk kepentingan kerja paksa. Alasan tersebut dipakai untuk memobilisasi penduduk secara masif di desa tersebut. Perantara yang paling cepat membawa berita mengabarkan ke setiap rumah penduduk adalah kurir lokal atau bagian dari perangkat desa kepala dusun. Mereka memberitahukan bahwa setiap orang yang dipanggil sesuai dengan nama diwajibkan datang pada hari yang telah ditentukan ke tempat kepala desa. ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien
aspek mentalitas yang ditimbulkan dari adanya romusha adalah